Harta Paling Berharga: Sesuap Nasi


Sore itu...

Matahari bercahaya cerah. Warna langit begitu cantik, antara warna biru dan hijau. Beberapa awan tipis mengambang begitu saja. Anggun sekali.

Kami duduk berjajar. Seperti biasanya kami melakukan ritual di setiap petang: masing-masing memegang piring lalu satu per satu menuju hadapan Ibu.

Dengan takaran tertentu, Ibu mengisi piring dengan ubi. Itulah makanan kami setiap hari. Takaran tersebut untuk memastikan agar kami semua mendapat bagian.

Aku sudah tidak sabar. Rasa lapar perut akan menjadi lauk terlezat selain sambal dan daun ubi. Serta sepotong ikan asin yang dibakar di atas bara.

Itulah sebuah pemandangan memilukan: keluarga yang dikelompokan ke dalam golongan orang-orang di bawah garis kemiskinan.

Aku masih duduk di dipan kayu.

Adikku telah menyodorkan piringnya ke Ibu, seperti seorang tahanan di film-film. Begitu selesai, ia membalikan badannya. Berjalan menuju tempat biasa dimana ia duduk untuk makan.

Tetapi aku melihat sesuatu yang berbeda pada wajahnya.

Raut wajahnya seperti seorang ksatria yang gembira berjumpa kekasihnya setelah lama berada di medan tempur. Antara senyuman, rasa tidak percaya, juga kegembiraan.

Ia cengar-cengir. Tidak karuan.

Sesuatu di piringnya-lah yang menjadi penyebab itu semua.

Setelah mendapatkan jatah masing-masing, kami duduk melingkar. Piring yang biasanya hanya berisi: ubi, daun ubi, sambal garam, dan ikan asin bakar, kini setengahnya lagi berisi nasi.

Nasi. Ya, nasi itu sangat mewah bagi kami.

Sudah hampir setahun kami tidak bertemu nasi. Bukan karena apa-apa, tetapi kemiskinan yang membelenggu membuat kami tidak mampu membeli beras.

Maka pemandangan sore itu...

...akan tersimpan rapi dalam benakku. Tergurat tanpa bisa dihapuskan. Menjadi pelajaran yang tak ternilai harganya.

Aku melihat adik pertamaku menatap lamat-lamat nasi di hadapannya. Lalu ia mengalihkannya tatapannya kepadaku. Setelah itu kembali ia menatap nasi di piringnya.

Ia menatapku lagi. Sebuah tatapan penuh arti.

Namun aku tak mengerti. Aku tak bisa menafsirkannya. Barulah kelak ketika dewasa, aku memahami...

Mungkin ia ingin berkata, "Kak... apakah ini bukan mimpi? Apakah aku tidak salah lihat? Benarkah ini nasi...?"

Aku tersenyum. Tanpa sepatah katapun terucap. Lalu kami makan bersama-sama. Semua terdiam. Sunyi. Sunyi sekali.

Di sudut sana, mungkin hati ibuku lebih sunyi lagi. Menatap anak-anaknya yang begitu bahagia. Sangat bahagia. Karena mendapatkan harta paling berharga: sedikit nasi di antara ubi-ubi.



DOA SETIAP WAKTU

Cerita harta paling berharga

Saya menyadari, setiap manusia mengalami masa-masa duka. Adakalanya teramat kelam. Hingga tidak ada keberanian untuk berpikir: bahwa alunan kehidupan bisa berubah setiap saat.

Kadang kemiskinan - seperti cerita kami di atas - mendekap sangat erat.

Tetapi selalu saja ada permata indah di antara pekatnya gelita. Di antara lilitan kemiskinan itu, aku selalu mendengar sayup-sayup suara Ibunda. Lantunannya ayat-ayat suci itu begitu mengharukan di kedalaman malam.

Ditemani lampu minyak, ia bermunajat. Ketika aku bertanya tentang hal itu, ia pun menjawab, "Malam ini Ibu mendoakan khusus buat kamu. Besok untuk adikmu..."

Begitu pula ketika pagi tiba. Ia kembali bermunajat di sela-sela kerja.

Dan,

Tuhan tidak pernah tidur. Doa-doa yang dilantukan siang dan malam, kerja-kerja kecil yang dirakit dari hari ke hari tidak pernah sia-sia.

Suatu hari pasti... mewujud menjadi kenyataan.


IKHTIAR TANPA HENTI

Ibunda hanya mengandalkan kerja kuli di kebun. Itupun kalau ada orang yang membutuhkan tenaganya. Tetapi apapun itu, di sinilah keindahannya.

Kami merasakan kesulitan, penderitaan, ketakutan, kecemasan. Kelak, justru semua itu membuat kami sangat bahagia.

Sesuap nasi di sore itu memberiku pelajaran berharga. Kesulitan mengajarkan kami untuk menghargai kemudahan. Gersangnya kemarau memberitahukan betapa indahnya gerimis dan ladang hijau.

Hidup berkekurangan membuat kami menghargai setiap limpahan karunia-Nya.


Hingga detik ini...

Setiap kali akan makan, dan mendapatkan sepiring nasi di hadapan saya... Kenangan di masa kecil itu tidak pernah lepas. Selalu saja hadir membayangi.

Tatapan adikku... Nasi dan ubi... Ikan asin....

Semuanya seolah membisikan agar saya menghargai kehidupan yang kini saya jalani. Dan tidak ada alasan  untuk tidak BERSYUKUR....

Kemampuan bersyukur atas segala limpahan nikmat itu justru merupakan harta paling berharga yang diajarkan kepada saya.

SELALU ADA HARTA BERHARGA 

Sesuap nasi begitu berharga bila setiap hari kita hanya makan umbi-umbian tanpa lauk pauk. 

Di sini saya belajar bahwa kemewahan itu relatif. Seseorang yang tercebur di laut lebih membutuhkan pelampung, bukan perhiasan emas. 

Kondisi prihatin membutuhkan ketabahan. Kondisi yang dilimpahi berbagai kenikmatan membutuhkan syukur untuk menyempurnakannya. 

Dan lumpur bisa lebih berharga daripada emas bagi sebutir benih...



Iklannya Juga Keren

Terkait: